Polarisasi dalam Pilkada Jambi kini terjadi. Salah satunya dialami oleh sang Petahana FU – SN, tak tanggung – tanggung yang awal melaporkan justru tim sukses calon yang kandidatnya di ” Branding ” habis – habisan paling sopan di antara yang lain, bahkan untuk kepentingan ini sampai harus cium tangan dan ikut memapah turun Bang Fuk (panggilan akrab Fachrori) dalam satu acara debat, meski bang Fuk sangat sehat dan kuat untuk berjalan sendiri.
Saling lapor yang terjadi menjelang pilkada ini tidak terlepas dari polarisasi politik yang terjadi. Polarisasi tidak hanya sebatas penggalangan dukungan dan opini untuk memenangkan kandidat, tetapi juga dalam ranah hukum.
Sangat disayangkan sebenarnya, karena polarisasi yang terjadi ini dapat berujung pada konflik yang berbasis pada ekspresi politik. Ekspresi ini dapat disampaikan secara emosional akibat tertutupnya pandangan masyarakat terhadap informasi lain dalam ajang kontestasi politik, terutama di media sosial.
Dalam konteks konteks pilkada ini media sosial dan internet digunakan oleh tim kampanye dan para pendukung pasangan calon untuk menyebarkan program. Perbedaan pendapat itu memunculkan polarisasi opini.
Polarisasi opini semakin sengit dengan keberadaan buzzer politik. Siapa mereka? buzzer politik adalah “akun media sosial milik seseorang atau organisasi yang mendapat penugasan untuk melakukan aktivitas di media sosial untuk melakukan kampanye atas program kerja atau berkaitan dengan elektabilitas calon pemimpin tersebut.”
Buzzer politik bisa bekerja dengan seikhlasnya atau karena memang pekerjaan ini memakan waktu, mereka terkadang menerima bayaran, jadi halal – halal saja ketika mereka dibayar. Buzzer aktivitasnya bisa bermacam-macam. Dari sekedar posting di media sejuta umat seperti FB, IG dan Twitter sampai melakukan troll hingga kultwit.
Tujuannya adalah mengangkat citra calon pemimpin. Cara kampanye pun bisa bermacam-macam. Ada yang sampai menggunakan cara kampanye hitam.
Sengitnya polarisasi opini bahkan menurutnya bisa berpengaruh pada demokrasi. Ada penyebaran kebencian, rasisme, dan diskriminasi dalam adu balas yang tidak sehat di antara para pendukung kandidat dalam pertarungan elektoral.
Di era digital ini agak riskan jika masing-masing pihak masuk dalam perangkap saling lapor, sehingga pendidikan mengenai literasi media digital menjadi penting, sehingga masyarakat dapat memahami dengan baik penggunaan media digital.
Karena walau bagaimanapun kasus saling lapor atas ujaran kebencian atau penghinaan oleh masing-masing kubu berpotensi memecah belah masyarakat, memunculkan gesekan di masyarakat akibat fitnah atau penghinaan, ini harus disadari bagi mereka yang suka melapor, karena pilkada bukan arena saling melapor seolah heroik sendiri agar di catat berjasa. Wallahu alam bishawab. !
Penulis: Noviardi Ferzi, Direktur Media Center FU-SN
Discussion about this post