Oleh: Mochammad Farisi, LL.M
Menuju pemilu serentak 2024 partai politik harus mulai menyingsingkan lengan baju dari sekarang, harus mulai riweh menyiapkan kader terbaiknya untuk ditawarkan kepada masyarakat, jangan lagi asal comot public figure dan buka “lowongan kerja” jelang pemilu.
Sesuai amanat UU No. 2 Tahun 2008 tentang Partai Politik, dalam Pasal 11 partai politik memiliki fungsi sebagai sarana pendidikan politik, agregasi kepentingan masyarakat, pendidikan politik dan rekruitmen untuk mengisi jabatan politik. Parpol memiliki peran sangat strategis menentukan nasib bangsa ini kedepan, karena partai politiklah satu-satunya lembaga yang diamanatkan oleh UU untuk melakukan seleksi kepemimpinan baik itu capres, caleg, maupun calon kepada daerah.
Sayangnya UU No. 2 tahun 2008 jo UU No. 2 Tahun 2011 tidak mengatur secara detail bagaimana mekanisme parpol menseleksi kadernya untuk menjadi calon pemimpin. Sepertinya memang sengaja dibuat begitu aturannya sangat longgar, Pasal 29 berbunyi “Rekruitmen dilaksanakan melalui seleksi kaderisasi secara demokratis dan terbuka sesuai dengan AD dan ART serta peraturan perundang-undangan”, tidak ada lagi penjelasan, peraturan pemerintah atau permendagri yang menjelaskan kata “demokratis” tersebut.
Hal ini menurut saya terjadi kekaburan norma atau memang sengaja dikaburkan, Pasal 29 ini sangat tidak jelas bagimana standar demokratis tersebut atau bagaimana seharusnya mekanisme seleksi yang bisa menghasilkan calon pemimpin yang berintegritas.
Faktanya, hasil dari kekaburan norma tersebut kondisi lembaga politik di Indonesia sangat memprihatinkan, mari kita cek hasil-hasil survey tentang partai politik, politisi dan lembaga DPR 5th terakhir. Survei LIPI 2018: DPR dan Parpol jadi Lembaga Bercitra Negatif (cnnindonesia.com), Survei LSI 2021 Soal Kepercayaan Public: DPR dan Parpol Urutan Paling Buncit (tempo.co), Survei Indikator Politik Indonesia (IPI) 2021: Tingkat Kepercayaan pada DPR dan Parpol Terendah (republika.co.id). dan masih banyak survei lainnya yang menunjukkan buruk dan lemahnya kinerja legislative.
Berdasarkan hasil survei tersebut, menuju pemilu 2024 sudah seharusnya parpol berbenah, jangan lagi menggunakan pola-pola lama, parpol jangan hanya dikuasai segelintir elit (oligarki) yang mendewakan syahwat kekuasaan duniawi semata. Kalo mau bangsa ini maju maka yang harus dibenahi pertama kali adalah kualitas partai politiknya. Cara merubahnya dengan merivisi UU parpol itu sendiri, terkhusus pasal terkait proses seleksi kepemimpinan. Menurut Roscoe Pound fungsi hukum adalah sebagai alat rekayasa sosial (law as atool of social engineering), dimana hukum berfungsi merubah perilaku masyarakat, menghapus kebiasaan yang tidak relevan lagi dan menciptakan pola-pola baru, untuk itu sudah saatnya UU partai politik direvisi agar semakin berintegritas.
Sekarang anda bayangkan, tugas anggota DPR itu sangat strategis tapi juga sangat berat: pertama legislatif drafting atau membuat regulasi yang mengatur hajat hidup suluruh bangsa, controlling atau mengawasi tugas-tugas pemerintah dan terakhir budgeting atau menyusun anggaran untuk pembangunan dan kesejahteraan rakyat.
Lantas, apakah tugas berat itu pantas diisi oleh politisi karbitan? tanpa kaderisasi yang jelas, miskin ilmu, tanpa pengalaman dan hanya mengandalkan popularitas? Mati konyol bangsa ini kalo begini terus. Dilevel daerah sama saja, seleksi untuk jadi caleg dan cakada di tingkat parpol sangat tertutup, elitis, tidak demokratis dan rawan money politik. Politisi lompat sana sini, waktu sudah duduk, jangankan berkreasi tupoksinya saja tidak mengerti.
Sebagai contoh, lihat bagaimana putusan MK tentang uji UU Cipta Kerja maha karya DPR disaat pandemi, MK menyatakan bahwa pembentukan UU Cipta Kerja cacat formil karena dibuat dengan “ugal-ugalan” dan bertentangan dengan asas-asas pembentukan peraturan perundang-undangan. UU tentang KPK juga kontroversial, UU KUHP tidak kunjung selesai dan masih banyak lagi lainnya. Meminjam istilah Prof Mahfud “hukum adalah produk politik, jika moralitas politik bagus maka produk hukum dan penegakannya akan bagus”.
Melihat hubungan antara hukum dan moralitas politik, saya coba menambahkan teori efektifitas hukum dari Lawrence M Friedman yang menyatakan bahwa berhasil tidaknya penegakan hukum tergantung tiga unsur system hukum; struktur of law, substance of law dan legal culture. Saya ingin menambahkan satu unsur lagi yaitu wise & integrity law maker, artinya hukum akan efektif bila dibuat oleh legislator yang berintegritas dan bijaksana. Jadi bukan fokus ke produk hukumnya tapi fokus bagaimana orang-orang yang membuat hukum memiliki moral yang baik.
Saya perlu ingatkan kembali bangsa ini, baca pelan-pelan dan pahami bunyi sila ke-4 Pancasila “Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan /perwakilan”. Para founding fathers bangsa ini sudah sangat akurat menyusun konsep demokrasi Pancasila, makna dari sila ke-4 tersebut menurut saya adalah yang layak mewakili rakyat untuk duduk di DPR adalah orang yang hikmat/arif dan bijaksana, bukan hanya sekedar mendapat suara terbanyak dalam pemilu. Pemimpin yang memiliki hikmat kebijaksanaanlah yang mampu membawa bangsa ini sejahtera, dan sebaliknya pemimpin yang tidak arif dan bijaksana tidak layak memimpin dan hanya akan membawa bangsa ini ke kubang kesesatan.
Ada dua cara untuk memperoleh orang yang ber “hikmat kebijaksanaan”, pertama orang alim yang memiliki tingkat ketakwaan yang tinggi, dan kedua orang berilmu yang menguasai secara mendalam ilmu pengetahuan yang luhur. Pemimpin yang memiliki sifat hikmat kebijaksanaan mewujud dalam sikap kejujuran, mencintai keadilan dan kemanusiaan serta kesejahteraan rakyat sebagai nilai ideal yang diperjuangkan melalui system permusyawaratan perwakilan, bukan permusyawaratan yang dibangun atas nama oligarki dan ketidakjujuran.
Socrates seorang filsuf hukum alam yang mengedepankan nilai-nilai moralitas yang mengajarkan natural law thinking, telah mengingatkan kita bahwa pemimpin yang baik adalah yang bijaksana dan ikhlas bukan mengejar uang ataupun kehormatan. Sedangkan Plato menekankan bahwa hanya orang yang mengerti nilai keadilanlah yang layak memimpin pemerintahan.
Berdasarkan makna sila ke-4 Pancasila diatas, maka sudah seharusnya partai politik berisi orang-orang bijak dan menjadi garda terdepan untuk menseleksi kader yang punya kualifikasi bijaksana. Caranya mulai dengan merevisi UU No. 2 Tahun 2011 memasukkan konsep sistem intergritas partai politik (SIPP) dan juga merivisi pasal 29 dengan membuat aturan yang detail bagaimana teknis rekruitmen politik yang mampu menghasilkan wakil rakyat yang ber hikmat kebijaksanaan.
Contohnya sederhana saya bandingkan dengan tes masuk akpol, dimulai dengan tes administrative, tes potensi akademik, tes psikotes, tes fisik, tes kesehatan, tes wawancara dll, tesnya sangat kompetitif. Maka yang lolos sebagai taruna adalah orang dengan fisik kuat, memiliki jiwa psikologi pemimpin, intelegensia tinggi serta sehat jasmani dan rohani. Bila tes menjadi taruna sedemikian ketat, maka seharusnya seleksi menjadi caleg/calon pemimpin harus lebih selektif karena tugasnya sangat berat yaitu menjalankan 3 fungsi DPR controlling, legislative drafting dan budgeting, jangan sampai hanya modal popularitas dan isi tas lalu menjadi caleg.
Wahai politisi di senayan dan pengurus partai politik, kami rakyat punya hak untuk mendapatkan caleg-caleg dan cakada yang berintegritas! Jangan sodorkan kepada kami caleg-caleg lemah tak berkualitas! Bila dalam hukum internasional (International Covenant on Civil and Political Right) hak politik hanya seputar hak memilih dan dipilih dalam pemilu, hari ini menyongsong pemilu 2024 saya mendeklarasikan hak asasi baru, yaitu hak rakyat untuk mendapatkan calon pemimpin (capres, caleg dan cakada) yang berhikmat kebijaksanaan berlandaskan Pancasila.
*Dosen FH UNJA & Direktur PUSAKADEMIA (Pusat Kajian Demokrasi dan Kebangsaan)
Discussion about this post