Oleh: Dr. Noviardi Ferzi
Di negeri yang kaya sawit ini minyak goreng menjadi masalah pelik. Jangankan untuk minyak goreng kemasan, minyak curah saja kini langka, sudah langka mahal pula pastinya. Pertanyaannya kenapa bisa terjadi ?
Awal ceritanya ketika Kementerian Perindustrian (Kemenperin) mengeluarkan
Peraturan Menteri Perindustrian Nomor 8 Tahun 2022 yang diundangkan 18 Maret 2022. Dalam beleid ini mewajibkan pengusaha atau perusahaan minyak goreng menyediakan minyak goreng curah untuk memenuhi kebutuhan masyarakat dan Usaha Mikro dan Kecil (UMK).
Aturan inilah yang memicu disparitas harga antara minyak goreng kemasan dengan minyak goreng curah menjadi penyebab kelangkaan minyak goreng curah bersubsidi di pasar.
Minyak curah merupakan produk turunan minyak kelapa sawit (Crude Palm Oils/CPO). Namun, minyak itu tidak murni, seperti minyak goreng dalam kemasan premium dengan merek ternama.
Sebab, minyak curah merupakan minyak sawit yang sudah melalui tahap pemurnian (refining), pemutihan (bleaching), dan penghilangan bau (deodorizing). Biasanya, minyak ini dikemas menggunakan drum dan didistribusikan menggunakan mobil tangki ke berbagai pasar di pelosok negeri, dengan harga subsidi.
Akibat subsidi harga ini, sudah satu atau dua minggu ini, harga minyak goreng curah meroket tinggi, hingga menembus Rp. 22.000 per liter dari harga sebelumnya 20.000 per liter. Padahal HET nya hanya Rp. 14. 000 per liter.
Selain harga yang mahal keberadaan minyak goreng curah juga kian sulit ditemui di pasar tradisional. Beberapa kios di Jambi mengaku tidak mendapatkan stok minyak goreng dan mengaku kehabisan.Sedangkan permintaan pembeli saat ini banyak yang beralih ke minyak curah.
Disparitas yang tinggi menyebabkan potensi pasar gelap sangat tinggi. Pasalnya subsidi yang diterapkan oleh pemerintah ini bersifat terbuka. Sehingga siapapun dengan latar belakang apapun sangat berkemungkinan untuk bisa membeli bahkan memborong minyak curah tersebut.
Modusnya, orang bisa saja memborong minyak goreng curah lalu dikemas menggunakan standar industri. Lalu dengan modal yang sedikit dia bisa jual dengan harga pasar yang harganya Rp 20.000 lebih per liter dari modal HET minyak curah yang dipatok Rp 14.000 per liter. Dari angka ini kita bisa bayangkan untung yang diperoleh para pemain.
Selain itu soal migrasi konsumen juga menjadi salah satu penyebab kelangkaan minyak goreng curah. Sebelumnya konsumen minyak goreng curah adalah masyarakat menengah ke bawah.
Namun adanya disparitas harga yang tinggi ini tentunya memicu konsumen yang awalnya membeli minyak goreng kemasan untuk beralih ke minyak goreng bersubsidi. Tentu saja ini melahirkan perebutan minyak goreng di pasar.
Karena minyak goreng subsidi yang awalnya diperuntukan kepada yang membutuhkan menjadi dikonsumsi secara umum oleh masyarakat. Akibatnya konsep subsidi jadi tidak tepat sasaran kepada masyarakat yang membutuhkan.
Maka dari itu pemerintah perlu melakukan pengawasan terhadap distribusi minyak goreng sehingga kemungkinan adanya pasar gelap tidak terjadi dan migrasi konsumen tidak terjadi.
Sebenarnya, ada solusi untuk mengatasi masalah ini subsidi minyak goreng curah. Penjualan dengan harga Rp 14.000 harus dilakukan secara tertutup, dengan mendata masyarakat berdasarkan nama dan alamat, by name by address, sehingga bisa tepat sasaran di tiap rumah tangga. Sulit memang. Namun, jika tidak akan lebih sulit lagi mengendalikan hasrat para oknum minyak goreng, ketika ada peluang untung yang besar.
*Pengamat
Discussion about this post