Oleh: Elita Rahmi
Petani perempuan tangguh, adalah cerita biasa dipedesaan, bahkan dianggap kurang menarik, tidak penting sama sekali tidak ada masalah, dan bahkan di desa tidak kenal apa itu ketimpangan gender?.Perempuan mengelola lahan pertanian, sawah, palawija bahkan kebun, merawat tanaman, hingga memikirkan kesediaan pangan keluarga, dipandang adalah kewajiban semata. Tidak ada penghargaan lingkungan, pemerintah, dunia usaha bahkan Perguruan Tinggi sekalipun.Apalagi masa pendemi Covid-19 kerapuhan keluarga taruhan perempuan.
Kesibukan hari demi hari Perempuan tangguh sektor pertanian di sawah, humo dan ladang menjadikan hari-hari perempuan desa sangat lelah, dan tidak terlintas dipikiran mereka siapa sesungguhnya hak atas tanah yang mereka garap, yang penting bagi perempuan petani tangguh itu dapurnya ngebul, anak-anaknya dapat sekedar makan hari-hari. Mereka tidak kenal UUPA, CEDAW bahkan PTSLPM.
Pemandangan perempuan sedang menanam padi sambil mengendong anak, atau pemandangan perempuan menyadap karet seraya menyusukan anaknya, bahkan sambil memasak di dapur, bukanlah pemandangan yang aneh dalam kehidupan perempuan miskin pedesaan alias petani perempuan kita, artinya perempuan bekerja dalam 3 (tiga)dimensi yakni bersawah,mengendong anak/mengasuh anak plus memasak) adalah pemandangan biasa, lingkungan patriarkhi memandang hal itu lumrah. Bahkan tidak ada yang menyebutnya perempuan petani tangguh.
Sabtu 31 Juli saya terburu-terburu ke Desa Suban Kacamatan Batang Asai Tanjabbar sekitar 4 Jam perjalanan darat dari kota Jambi, karena dapat berita ibu Parni usia sekitar 65 tahun mendadak meninggal dunia di sawahnya pukul 10.30 Wib.di duga ibu Parni tidak sarapan pagi, mendadak pusing terjatuh di sawah dan akhirnya di bawa ke rumahnya dan menurut Bidan setempat Parni petanitangguh itu telah meninggal dunia setengah jam lalu, artinya saat terjatuh di sawah ibu Suparni telah tiada, padahal menurut keluarga ,Parni tidak punya sakit jantung dan jenis penyakit lainnya.
Itulah cerita petani perempuan petani tangguh di sudut Tanjabbar Jambi daerah Suban sebagai salah satu lumbung padi di Tanjung Jabung yang kini kabupatennya pecah menjadi dua yakni Tanjabbar dan Tanjabtim dan bahkan petani di daerah Suban tersebut di topang suatu Bendung/ irigasi yang berasal sari Sungai Suban yang cukup besar. Tapi kesetaraan gender belum menyertai pembangunan pedesaan kita.
Perempuan tangguh Indonesia yang bekerja di sektor pertanian mencapai angka 40 persen atau sekitar 9,2 juta jiwa, dengan tugas mulia petani perempuan adalah, mengelola sawah pertanian, merawat tanaman hingga memikirkan pangan keluarga.Tidak terpikir oleh mereka siapa sesungguhnya pemilik tanah yang dia garah, yang penting baginya ketersediaan pangan keluarga cukup untuk sekedar makan keluarga.
Nasib malang bagi petani perempuan, apabila orang tua telah tiada, tanah tersebut dijual atau dialihkan pihak keluarganya yang laki-laki, baik itu jual beli, sewa menyewa, gadai hingga pinjam pakai. Sebagaian besar petani perempuan tidak mau peduli dengan kepemilikan status tanah. Pada budaya Patriarkhi hak mengambil keputusan dikuasai laki-laki atau kemenakan laki-laki di Minang Kabau. Perempuan menerima saja apapun putusan yang diambil, mau sawah dijual sekalipun ,karena dia akan masih bisa bekerja menjadi buruh pada si pembeli sawah tersebut.
Di desa lainnya , tanah di jual, petani perempuan, hijrah ke kota atau mengikuti program Tenaga Kerja Wanita (TKW) ke negara lain (Arap,Malaysia, singapura) dengan ketrampilan dan pendidikan yang sangat terbatas , tentu dengan harapan mendapat penghasilan yang tinggi juga dalam rangka ketahanan pangan keluarga guna memenuhi kebutuhan pokok. Mereka tinggalkan anak dan suami serta keluarga, kepada perempuan penopang pangan keluarga tadi tertumpu harapan yakni mendapat kiriman dari TKW di luar negeri.
Belum lagi persoalan alih tehnologi pertanian yang tidak akrab dengan ketrampilan perempuan, traktor, menjadikan petani perempuan kehilangan pekerjaan sebagai petani tangguh yang biasanya hanya menggunkan sabit, ani-ani dan cangkul.
Ketimpangan perempuan sesungguhnya merupakan kerugian bagi masyarakat, negara dan bangsa, karena laki-laki dan perempuan tidak dapat menjadi mitra sejajar yang dapat berakibat ketidakserasian. Percekcokan keluarga, hingga perceraian , broken home, anak putus sekolah, menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari cerita ketimpangan gender bagi perempuan miskin pedesaan, perempuan sektor pertanian bahkan perempuan lainnya.
Perempuan lebih banyak mengalami ketimpangan, karena nilai nilai dan norma masyarakat yang membatasi ruang gerak perempuan untuk ikut sebagai kelompok tani, kelompok UKM dan sebagainya, sehingga perempuan petani di pedesaan tidak trampil dalam ruang-ruang publik dan banyak membagikan dana, skill dan pengetahuan serta berbagai ketrampilan penting dalam kehidupan bermasyarakat.
Kelompok tani perempuan juga tidak mendapat perhitungan dalam kebijakan pemerintah, kelompok tani didominasi oleh laki-laki, uangnya dikelola laki-laki, tetapi yang mengelola lahannya adalah perempuan. Perempuan desa kalah suara bila mengambil keputusan di tingkat kelompok tani, di tingkat desa bahkan di kecamatan dan di kabupaten. Mereka tidak dapat mengemukakan pendapat dengan logis, karena ketimbangan peran yang tertanam pada perempuan sektor pertanian yang demikian mengurita dalam kehidupan masyarakat patriakhi
Sensitivitas gender, rasanya cerita mimpi dalam keseharian kehidupan pertanian di pedesaan, budaya patriarkhi yang demikian kental mengakar dalam kehidupan masyarakat desa sektor pertanian.
Ketimpangan gender terjadi apabila salah satu gender dirugikan, salah satu gender dibedakan derajadnya, salah satu gender dianggap tidak mampu, salah satu gender diperlakukan lebih rendah, salah satu gender mengalami ketidak adilan gender.
Sesungguhnya UUPA sejak tahun 1960 telah mengatur pentingnya ruang/akses perempuan mendapatkan hak atas tanah.Agar perempuan terlatih mengambil keputusan-keputusan dimana tanah sebagai asset keluarga, tanah wujud kesejahteraan, tanah sumber kehidupan keluarga, tanah adalah masa depan anak-anak (development sustainable)
Secara normative Pasal 9 ayat 2 UU Nomor 5 Tahun 1960 Tentang UUPA mengatur perempuan dan laki-laki mendapat kesempatan yang sama baik berupa hak atas tanah maupun pemanfaatan atas tanah. Dipertegas kembali pada Pasal 14 ayat 1 dan 2 serta Pasal 14 (g) UU Nomor 7 Tahun 1984 Tentang Pengesahan Konvensi Mengenai Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Terhadap Wanita (Convention on the Elimination Of All Forms of Discrimination Againt Women- CEDAW.
(1)“Negara wajib memperhatikan masalah-masalah khusus yang dialami perempuan desa dan peran yang dimainkan perempuan desa dalam kelangsungan hidup keluarga di bidang ekonomi, termasuk pekerjaan di sektor ekonomi yang tidak dapat dinilai dengan uang dan wajib melakukan –langkah langkah yang tepat guna menghapus diskriminasi perempuan di daerah pedesaan
(2)Negara wajib melakukan langkah, tindakan yang tepat untuk menghapus diskrimnasi terhadap perempuan di daerah pedesaan, dan menjamin bahwa mereka ikut dalam menikmati manfaat dari pembangunan pedesaan atas dasar kesetaraan gender atau persamaan antara laki-laki dan perempuan, khususnya menjamin kepada perempuan di pedesaan hak- hak nya .
Pasal 14 ayat 2 (g) Hak untuk memperoleh kredit dan pinjaman pertanian, fasilitas pemasaran, teknologi tepat guna serta perlakuan yang sama pada landreform dan urusan urusan pertanahan termasuk pengaturan tanah pemukiman kembali.
Pasal di atas terkalahkan oleh budaya patriakhi yang tumbuh subur di daerah pedesaan,dengan wujud perkawinan usia muda, tingginya angka kawin cerai perempuan, perempuan janda dan perempuan dengan pendidikan dan skill yang sangat terbatas serta takut, malu dan segan serta tidak terbiasa menguasai ruang public.
Akibat UUPA dan CEDAW serta perundang-undangan yang terkait dengan pengurustamanan gender, sulit di eksekusi di daerah pedesaan yang hidupnya bertani. Rendahnya aksesmereka terhadap hak atas tanah,membutuhkan program yang terintegrasi atau land reform yang telah membawa sukses Negara-negara Thailand, Jepang, dan lainnya.
Cerita Ibu Parni perempuan tangguh itu sungguh menjadi PR kita bersama, khususnya Perempuan Petani Parni yang menggarap sawah sekitar 4 petak atau sekitar 1 hektar lahan orang tuanya yang didapat dari transmigrasi sekitar tahun 1998. Sawah itupun direncanakan akan di jual agar dapat dibagi pada ke delapan adik beradik Parni. Disamping mereka kesulitan modal dalam mengeloa sawah, parni telah mengugah masyarakat patriarkhi Indonesia bahwa bekerja terlalu berat bagi perempuan adalah melanggar Hak Azasi Perempuan dan dapat mengakibatkan kematian dan termasuk salah satu yang disebut dengan ketimpangang gender. Ibu Parni adalah cerita ketidakadialan gender yang terjadi dalam budaya patriarkhi di Indonesia saat pemerintah sedang semangat menjalankan program PTSLPM (Program Percepatan Reforma Agraria- pendaftaran tanah Sistimatis lengkap berbasis Partisipasi masyarakat)
Masih adakah Parni lainnya menimpa nasib yang serupa. Meninggal di sawah, lading atau humo . Parni Petani Tangguh mengukir cerita ketimpangan gender di sektor pertanian.
Mimpi. Perempuan menjadi subjek tanah pada proyek PTSL.Ketimpangan penguasaan tanah tidak boleh terjadi.Perempuan Petani Tangguh mengindikasikan tidak ada pembagian tugas dalam sektor pertanian. ketimpangan gender akan merugikan bangsa dan negara.Parni adalah pahlawan petani perempuan Indonesia yang tangguh.
*Elita Rahmi, Pengajar Hukum dan Gender Pada Fakultas Hukum Universitas Jambi
Discussion about this post