Oleh: Mocammad Farisi, LL.M
Berdasarkan Pasal 5 ayat (1) UU No. 2 Tahun 2002, Kepolisian Negara Republik Indonesia sebagai alat negara yang menjalankan salah satu fungsi pemerintahan di bidang pemeliharaan keamanan dan ketertiban masyarakat melalui pemberian perlindungan, pengayoman dan pelayanan kepada masyarakat serta penegakan hukum.
Secara universal tugas polisi ada dua yaitu menegakkan hukum serta memelihara ketertiban umum. Tugas pertama mengandung pengertian represif (penindakan), yang kedua mengandung pengertian preemptif (pembinaan) preventif (pencegahan) atau tugas mengayomi adalah tugas yang luas tanpa batas, boleh melakukan apa saja asal keamanan terjaga dan tidak melanggar hukum itu sendiri.
Fungsi preemtif dan preventif merupakan garis depan menciptakan ketertiban dalam masyarakat. Kedua fungsi itu akan berhasil bila polri melibatkan peran dan partisipasi masyarakat yaitu melakukan pendekatan dan pembinaan kepada masyarakat yang tujuan utamanya tercipta kesadaran hukum. Bila fungsi ini dijalan dengan baik maka sangat efektif untuk melibatkan masyarakat berpartisipasi dalam mencegah potensi kejahatan lingkungan.
Polri dibawah kepemimpinan Kapolri baru Jenderal Polisi Drs. Listio Sigit Prabowo, M.Si membangun kepemimpinan Polri 2021-2024 dengan tagline transformasi POLRI PRESISI yang merupakan abreviasi dari PREdiktif, responSIbilitas, dan transparanSI berkeadilan. Konsep ini merupakan fase lebih lanjut dari POLRI PROMOTER (PROfesional, MOdern, dan TERpercaya) yang telah digunakan pada periode sebelumnya, dengan pendekatan pemolisian berorientasi masalah (problem oriented policing).
Dalam kepemimpinan POLRI PRESISI, ditekankan pentingnya kemampuan pendekatan pemolisian prediktif (predictive policing) agar Polri mampu menakar tingkat gangguan keamanan dan ketertiban masyarakat (kamtibmas) melalui analisa berdasarkan pengetahuan, data, dan metode yang tepat sehingga dapat dicegah sedini mungkin.
Pemolisian prediktif dipopulerkan oleh Mohammad A. Tayebi dan Uwe Glässer (2016); Dawn L. Rothe dan David Kauzlarich (2016); Erik Bakke (2018); dan A. Meijer (2019). Teori ini berusaha membangun konsep pemolisian dengan mengedepankan sistem fungsi deteksi; kemudian dianalisis secara integratif; hasil analisis digunakan sebagai bahan sistem pendukung keputusan (decision support system); sehingga akhirnya dapat merealisasikan fungsi pre-emptif dan preventif secara optimal, dan upaya terakhir penegakan hukum dalam rangka pemeliharaan keamanan dan ketertiban masyarakat.
Pola pemolisian Presisi mendorong terbangunnya model kepmimpinan yang tekun, berfikir kritis, pemecahan masalah, adaptasi dan akutabilitas. Pola ini akan menciptakan cara mengambil keputusan secara cepat, tepat dan professional. Pola pemolisian presisi menjadi solusi efektif bagi penanganan konflik social yang terus terjadi di masyarakat, aparat kepolisi dituntut memiliki inovasi yang tinggi serta membangun kekompakan tim melalui kerjasama, sinergi dan kolaborasi semua pihak.
Dalam penanganan konflik social cara terbaik menyelesaikannya adalah dengan melakukan manajemen atau mengelola konflik. Sesuai dengan Perkap No. 6 Tahun 2019, pendekatan hukum yang lebih diutamakan adalah restorative justice, untuk itu pendekatan yang dilakukan dalam pengelolaan sumber konflik adalah:
1. Mengelola kondisi geografi, demografi, kondisi social budaya dan kearifan local, 2. Memanfaatkan sumber daya dan kapasitas polri dan pemangku kepentingan lainnya untuk berkolaborasi, 3. Pendekatan kesejahteraan, memberikan bantuan modal dan ketrampilan serta akses terhadap sumber daya untuk meningkatkan perekonomian, dan 4. pendekatan terkahir adalah ultimum remedium dimana hukum pidana menjadi upaya terkahir dalam upaya penegakan hukum.
Konflik Penambangan Emas Tanpa Ijin (PETI) di Kab. Merangin Pertambangan Tanpa Izin (PETI) adalah usaha pertambangan yang dilakukan oleh perseorangan, sekelompok orang, atau perusahaan yayasan berbadan hukum yang dalam operasinya tidak memiliki Izin dan instansi pemerintah sesuai peraturan perundang-undangan yang berlaku. PETI diawali oleh keberadaan para penambang tradisional, yang kemudian berkembang karena adanya faktor kemiskinan, keterbatasan lapangan kerja dan kesempatan usaha, keterlibatan pihak lain yang bertindak sebagai cukong dan backing.
Kegiatan PETI yang tidak mengikuti kaidah-kaidah pertambangan yang benar, telah mengakibatkan kerusakan lingkungan, pemborosan sumber daya mineral, dan kecelakaan tambang. Hal ini menimbulkan bencana jika tidak di kelola dengan baik dan benar (Boateang et al, 2014) Disamping itu, PETI bukan saja menyebabkan potensi penerimaan negara berkurang, tetapi juga Negara/Pemerintah harus mengeluarkan dana yang sangat besar untuk memperbaiki kerusakan lingkungan.
Penanggulangan masalah PETI selau saja dihadapkan kepada persoalan dilematis. Hal ini disebabkan PETI identik dengan kehidupan masyarakat bawah yang tidak memiliki akses kepada sumber daya ekonomi lain karena keterbatasan pendidikan, keahlian, dan ketrampilan yang dimilikinya (Adnan, 2012). Penutupan kegiatan usaha berarti menambah panjang daftar angka pengangguran dan kemiskinan, sementara membiarkan mereka tetap beroperasi berarti menginjak-injak peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Secara umum hampir setiap kecamatan di Kab. Merangin memilki potensi emas dan telah dikelola sejak lama oleh masyarakat dengan menggunakan alat yang sederhana. Aktifitas PETI yang dilakukan menggunakan alat berat konstruksi (excavator) secara massif diperkirakan dimulai sejak tahun 2011 yang berada di Kecamatan Pangkalan Jambu.
Di kecamatan itu dari total luas lahan pertanian 1.200 ha, 630 ha dirusak oleh kegiatan PETI. Awal penambangan 2011 dilokasi sampai terdapat 300 ekscavator, setelah lahan yang ditambang habis kemudian alat berat dipndahkan ke kecamatan lain. (sunarti, 2016)
Pada 2013 kegaitan PETI mulai menyebar di 14 desa di Kecamatan Tabir Barat, total ada 150 an ekscavator yang digunakan sampai dengan tahun 2016. Selain itu beberapa kecamatan lain juga menjadi lokasi PETI termasuk Tabir Timur dimana aktifitas PETI dilakukan menyusuri sungai dari Kecamatan Tabir Ilir sampai Muara Tabir yang luasnya sekitar 125 ha daerah aliran sungai.
Di Kecamatan Muara Siau dan Nalo Tantan kegiatan penambangan relative baru dimulai tahun 2016 terdapat 1-2 ha dan kegiatan PETI dilakukan dengan mesin dompeng. Kegiatan PETI terus dilakukan dengan perpindahan lokasi dari hulu kearah hilir. PETI ini secara nyata memang menaikkan kondisi ekonomi masyarakat namun di sisi lain sangat merusak dan melanggar hukum lingkungan dan dampaknya sudah dirasakan oleh masyarakat seperti; korban jiwa, banjir dan tanah longsor.
Penegakan hukum terhadap aktifitas PETI terus dilakukan oleh aparat Polres Merangin melalui razia, pemusnahan dengan membakar mesin dompeng dan penangkapan para pelaku.
Beberapa kasus yang di tangani adalah; 30 Mei 2020 aparat menangkap pelaku PETI di Sungai Murak Lingkar Talang kawo, Kelurahan Dusun Bangko, Kec. Bangko. Awal Januari 2021 Kasus penangkapan tiga tersangka PETI di Dusun Patekun Desa Nolo Baru Kec. Nalo Tantan. Agustus 2020 penangkapan pelaku PETI di Desa Kapuk Kec. Tabir dan Desa Biuku Tanjung Kec. Bangko Barat.
Berdasarkan penyampaian Kejaksaan Negeri Merangin sepanjang tahun 2019-2020 penanganan kasus PETI sebanyak 19 perkara (Rakor penanggulangan PETI 30/12/20).
Melihat data penegakan hukum yang telah dilakuakan Polres Merangin, ternyata aktifitas PETI belum sepenuhnya berhenti meskipun polres sering melakukan razia dan penangkapan. Untuk itu polres berupaya melakukan cara/pendekatan lain dalam menyelesaikan persoalan PETI yaitu melalui pola pemolisian presisi dengan pendekatan restorative justice melalui fungsi pre-emptif dan preventif secara optimal. Yaitu dengan mengelolaan sumber konflik; 1. Mengelola kondisi geografi, demografi, kondisi social budaya dan kearifan local, 2. Berkolaborasi dengan stake holder lainnya, 3. Pendekatan kesejahteraan dengan memberikan bantuan modal dan ketrampilan serta akses terhadap sumber daya untuk meningkatkan perekonomian.
Beberapa peran nyata polres dalam pembinaan masyarakat disekitar peti adalah; pertama melakukan rakor dengan pemda, akademisi, APDESI, tokoh masyarakat dan stakeholder lainnya untuk memetakan persoalan konflik PETI, setelah mengetahui akar persoalan kemudian merumuskan kebijakan solusi PETI. Kedua, melaksanakan berbagai program solusi; diantaranya bersama dinas perikanan melaksanakan budidaya perikanan bagi warga memanfaatkan kearifan lokal lubuk larangan dengan memberikan bantuan restocking benih ikan “kelemak” sebanyak 2000 ekor.
Selain itu juga ada solusi ekonomi kreatif pengembangan usaha mikro kecil menengah dengan ternak lebah madu.
Pola preemptif (pembinaan) preventif (pencegahan) melalui pendekatan kesejahteraan sesuai kondisi social kearifan lokal seperti contoh diatas sangat efektif dilakukan. Inovasi seperti inilah yang harus terus dilakukan, selain penegakan hukum represif sebagai pilihan terakhir, juga edukasi merubah pola fikir masyarakat menjaga hutan, sungai dan lingkungan juga dengan memberikan solusi kreatif untuk menambah penghasilan ekonomi masyarakat. Dengan pola Polres PRESISI Insyaallah PETI bisa diberantas sampai ke akar-akarnya.
*Dosen Fakultas Hukum Universitas Jambi
Discussion about this post