JAMBI – Konflik Tragedi Agraria di Pulau Rempang, Provinsi Kepulauan Riau, menjadi sorotan bagi masyarakat sekuruh Indonesia dan sangat menjadi perhatian oleh suku melayu. Pulau Rempang tersebut direncanakan akan dijadikan kawasan industri, perdagangan, hingga wisata yang terintregasi.
Pembangunan itu ditolak oleh sejumlah warga dan berujung bentrok warga dengan aparat keamanan. Akibatnya banyak pro dan kontrak di masyarakat melayu di indonesia.
Ketua Forum Komunikasi antar Umat Beragama (FKUB) Kabupaten Bungo mengimbau kepada pihak-pihak yang bertikai terkait konflik agraria di Pulau Rempang, Kepulauan Riau, besabar dan menahan diri.
“Saya menghimbau masyarakat Pulau Rempang untuk menahan diri agar tidak terjadi anarkis berkepanjangan yang muaranya akan merugikan kita semua,” himbau Sayono, Minggu (25/9/2023).
Terkait hal tersebut, dikatakan Sayono, agar pemerintah daerah dan pemerintah pusat supaya mempertimbangkan rasa keadilan sesuai dengan sila ke 2 kemanusiaan yang adik dan beradap, untuk kepada aparat semoga lebih humanis menghadapi masyarakat yang melakukan aksi di Pulau Rempang,” kata Sayono.
Data yang diperoleh, Pemerintah Indonesia mengeklaim masyarakat di Pulau Rempang “setuju” untuk “digeser” sepanjang tidak dipindahkan ke luar pulau itu. Namun, sejumlah warga terdampak justru menyatakan “tetap menolak” dipaksa pindah dari kampung mereka saat ini.
Dari 16 kampung tua yang awalnya hendak direlokasi pun, akan ada empat kampung yang diprioritaskan untuk dibangun pada tahap awal.
Discussion about this post