Oleh: Mochammad Farisi, LL.M
Pilkada 2020 dilaksanakan ditengah situasi bencana nasional non alam dan darurat kesehatan pandemic covid-19, pelaksanaannya sempat ditunda dan akhirnya diputusan tetap dilaksanakan pada 9 Desember 2020 di tengah kondisi wabah yang masih mengganas.
Alhamdullilah pilkada berjalan cukup lancar dengan kepatuhan masyarakat mematuhi protkes sangat tinggi, meskipun tingkat partisipasi tidak memenuhi target yaitu 67.9 % dari target 77,5%, namun dalam kondisi pandemi covid-19 angka ini cukup menggembirakan. Saya mengapresiasi pelaksanaan pilkada yang berjalan cukup mulus, beberapa daerah yang tidak ada gugatan PHPU peraih suara terbanyak telah ditetapkan oleh KPU, khusus Pligub Jambi sedang memasuki tahapan gugatan PHPU di Mahkamah Konstitusi.
Namun saya melihat masih banyak persoalan yang menjadi catatan kritis dan evaluasi untuk perbaikan kedepan, baik dari segi penyelenggaraan, penyelenggara, peserta (partai politik dan calon kepala daerah) serta partisipasi masyarakat. Catatan kritis ini dibuat untuk menganalisis berbagai kejadian dinamika politik pada saat pelaksanaan Pilkada 2020 serta memberikan masukan untuk perbaikan pilkada kedepan.
Beberapa materi yang diberikan catatan kritis adalah: 1. Peratuan hukum, 2. Tahapan pilkada (NPHD, seleksi penyelenggara adhoc, coklit, DPT, syarat dan pendaftaran calon, kampanye, putungsura, sengketa PHPU, dll), 3. Proses penjaringan dan seleksi bakal calon di partai politik, 4. Dinamika politik (Issu SARA, peta geografis, hasil survei, dan issu gender), 5. Pelanggaran etika, administrasi, pidana, maupun protkes, 6. Dana politik dan pelanggaran money politik, 7. Partisipasi dan tingkat melek politik masyarakat Jambi, 8. System pilkada, dan terakhir 9. Visi misi pasangan calon.
Berikut beberapa catatan kritis terkait pilkada 2020: pertama Negara belum siap dan tidak menduga akan datangnya wabah covid-19 sehingga memang belum ada regulasi yang mengatur tentang pilkada disaat pandemi, sehingga regulasi baru dibuat dan kejar-kejaran dengan tahapan yang sedang berjalan, sehingga hasil regulasi tidak maksimal karena dibuat terburu-buru. Tantangan berat lainnya adalah menjalankan tahapan dengan protokol kesehatan ketat, seperti tidak boleh berkerumun, sehingga banyak bimtek dan sosialisasi yang dilakukan secara daring, SDM belum sepenuhnya terbiasa dengan daring sehingga tidak maksimal.
Dalam hal sosialisai, KPU diharapkan lebih banyak melibatkan komunitas/ormas/OKP/lembaga2 lain, dimana mereka terlibat langsung menjadi subjek yang melakukan pendidikan politik bagi anggota dan masyarakat sehingga lebih efektif. Dibidang pengawasan, banyaknya laporan dan temuan dugaan pelanggaran (baik money politik, pemberian bansos, kampanye diluar jadwal, keterlibatan ASN dan kepala daerah yang tidak netral, dll) menunjukkan kepedulian masyarakat tentang pilkada yang bersih semakin tinggi, artinya fungsi saling mengawasi antar kandidat/partai/masyarakat sangat efektif diterapkan.
Catatan Bawaslu hampir semua tahapan teknis permasalahan yang sama dari pemilu-pemilu sebelumnya terus terjadi berulang, seperti: masalah pemutahiran daftar pemilih, pelanggaaran kampanye, dan pencalonan. Selain itu SDM/pengetahuan penyelenggara adhoc PPK, PPS, KPS tentang regulasi harus ditingkatkan.
Untuk itu proses seleksi harus selektif dan jumlah bimtek harus dioptimalkan dan dilakukan jauh-jauh hari. Pilkada tahun ini juga diwarnai pemecatan penyelenggara Adhoc karena melakukan penggelembungan suara, ini membuktikan bahwa proses seleksi belum dilakukan secara benar, masih berbau nepotisme dan faktor kedekatan organisasi/keluarga dengan penyelenggara atasnya.
Dibidang penegakan hukum pemilu, penegakannya harus dilakukan secara cepat dan transparan serta menimbulkan efek jera, sehingga menjadi peringatan bagi semua orang untuk tidak melakukan pelanggaran. Sebenarnya bila aturan hukum benar ditegakkan tanpa pandang bulu, para kandidat juga takut melakukan pelanggaran, karena akan dicap negatif dan bisa dibatalkan.
Meskipun sulit dibuktikan namun info tentang adanya mahar politik sangat santer, membuat biaya pilkada sangat tinggi, yang bisa jadi menyebabkan APBD nantinya dikorupsi. Maka dari itu perlu dibuat pendidikan politik bersih, jujur dan berintegritas bagi pasangan calon dan elit partai, sebelum dilaksanakan pilkada, dibuat komitmen bersama untuk tidak melakukan praktek-praktek mahar politik pada saat seleksi tingkat parpol, menyuap masyarakat, menggunakan fasilitas negara (manfaatkan program-program pemerintah untuk mendapatkan dukungan) dan hal lain yang dilarang UU.
Melihat dinamika porses seleksi di parpol dimana terdapat ”tukar guling kader”dan kader murni yang tidak didukung, menunjukkan parpol hanya sebagai alat untuk merebut kursi kekuasaan, seleksi sangat prakmatis jauh dari nilai-nilai fungsi partai politik yang diamanatkan oleh undang-undang. Reformasi partai politik mendesak harus segera dilakukan dengan merevisi UU partai politik, memasukkan materi tentang sistem integritas partai politik (SIPP) tentang kaderisasi, seleksi kepemimpinan, dan pendanaan partai sehingga partai lebih modern dan terhindar dari praktek KKN.
Terkait tahapan kampanye, debat kandidat jangan jadi formalitas, substansi dan metode debat harus lebih fariatif dan memberikan kesempatan bagi paslon untuk mengelaborasi visi misi. Dalam kampanye Isu gender tentang kalimat ”janda” mencul dan menyerang salah satu calon, untuk itu etika politik perlu ditingkatkan dan pembahasan tentang program kerja harus lebih ditonjolkan. Kedepan kampanye melalui media digital juga harus lebih dikedepannya karena kemungkinan pandemi belum sepenuhnya bisa diselesaikan dalam waktu dekat, kampanye harus memberikan pendidikan pemilih bukan hanya pencitraan semata.
Berdasarkan Indeks Kerawanan Pemilu (IKP) baik yang dikeluarkan Bawaslu maupun Polri Kota Sugai Penuh memiliki tingkat kerawan paling tinggi, untuk itu Polda telah melakukan langkah-langkah strategis untuk mengatasi dengan melakukan patroli gabungan sekala besar, sosialisasi dan penggalangan tokoh agama, masyarakat dan adat serta mengedepankan Babinkamtibmas sebagai basis deteksi, sehingga Kota Sungai Penuh tidak menjadi tertinggi tingkat kerawannyanya, namun setelah muncul kasus penggelembungan suara oleh PPK, kemungkinan status kerawanan akan menjadi naik kembali.
DPT merupakan hal krusial dalam pilkada, untuk itu penyusunan DPT harus benar-benar valid dan tidak menjadi permasalahan dikemudian hari seperti yang terjadi saat ini gugatan PHPU yang dilakukan Paslon Gubernur No. 1 terkait dugaan kesengajaan/kelalaian dalam menghimpun DPT dan pemahana KPPS tentang teknis syarat mencoblos.
Paslon yang berangkat dari dinasti politik atau ada unsur kekerabatan dengan petahana atau mantan kepala daerah tumbang, ini membuktikan bahwa masyarakat menghendaki perubahan. Berdasarkan survei lembaga PUTIN, 55,6% masyarakat menilai pasangan calon dari program kerjanya, tipe pemilih cerdas/rasional ini harus terus ditingkatkan, pendidikan politik yang tersturktur massif dan sistematis harus terus dilakukan bukan jelang pilkada saja, tapi jauh-jauh hari dan dilakukan kontinyu pada semua lapisan masyarakat.
Terakhir media juga harus dibenahi untuk tunduk pada etika-etika jurnalistik dan independen tidak prakmatis mendukung atau berpihak kepada salah satu paslon baik secara langsung maupun tidak langsung. Itu tadi beberapa Catatan Kritis Pilkada 2020 di Provinsi Jambi. Tentu hasil catatan ini masih perlu mendapat masukan yang lebih luas dari msayarakat, yang akan menjadi evaluasi bagi penyelenggaraan pilkada yang lebih baik kedepan.
*Dosen Fakultas Hukum UNJA & Ketua KOPIPEDE Provinsi Jambi
Discussion about this post