Oleh: Dr. Noviardi Ferzi
Mematahkan banyak analis, akhirnya perang itu terjadi. Sejarah kelam dunia, ketika Kamis (24/02/2022) Rusia meluncurkan invasi penuh ke Ukraina, perang langsung antar negara, melibatkan peluru kendali, pesawat tempur, roket, tank, helikopter dan puluhan ribu tentara. Sekali lagi ini perang, bukan sebatas kontak tembak antar proxy ke dua negara.
Meski masih terlalu dini untuk mengukur dampak ekonomi secara tepat dari konflik ini, namun bukan berati hal ini tidak bisa di prediksi, berbagai asumsi berbasis data bisa dilakukan. Minimal untuk bahan diskusi.
Perang Rusia Ukraina sebenarnya wujud ketakutan global yang terealisasi. Setelah dihantam oleh pandemi, rantai pasokan tersendat, lonjakan harga, ekonomi global yang semestinya siap untuk berdamai dengan pandemi, malah justru tersandung serangan baru perang besar di Eropa.
Untuk mengembargo Rusia, seperti yang sering dilakukan negara sekutu pada musuhnya sulit, karena Rusia bukan seperti sebagian negara Arab yang tak memiliki teknologi senjata dan manajemen sumber daya yang kuat karena terpecah belah.
Rusia hari ini negara yang mampu membuat negara-negara bergantung pada pasokan energi, gandum, nikel, dan bahan pokok lainnya. Perang dengan Rusia membuat kawasan eropa dan dunia menghadapi lonjakan harga.
Sebagai produsen utama minyak dan gas alam. Ditambah, konflik geopolitik yang berkembang, mau tak mau membuat harga keduanya naik tajam dalam beberapa pekan terakhir. Rusia juga merupakan pengekspor gandum terbesar di dunia dan merupakan pemasok makanan utama ke Eropa.
Amerika Serikat sendiri mengimpor relatif sedikit dari Rusia. Tetapi, krisis komoditas yang disebabkan oleh konflik dapat memiliki efek lanjutan, yang setidaknya untuk sementara menaikkan harga bahan mentah dan barang jadi, ketika sebagian besar dunia, termasuk Amerika Serikat sedang mengalami krisis. Ini akan menjadi inflasi yang cepat. Benarkah?
Namun jika dibandingkan dengan dampak pandemi, dampak perang kali ini tidak terasa begitu besar, kecuali untuk beberapa komoditi. Rusia memang memiliki gudang senjata nuklir yang sangat besar serta pemasok utama bahan bakar nuklir, minyak, gas, dan bahan mentah yang membuat pabrik-pabrik dunia tetap berjalan.
Tapi tidak seperti Tiongkok, yang merupakan pembangkit tenaga listrik manufaktur dan terjalin erat ke dalam rantai pasokan yang rumit, Rusia adalah pemain besar yang terbatas dalam ekonomi global. Namun yang nama perang tetap memiliki efek.
Pertama, konflik di Ukraina dapat lebih meningkatkan harga pangan global, khususnya gamdum yang meroket saat ini. Untuk Indonesia sebelum perang kelangkaan gandum telah membuat industri kesulitan dan pangan dari gandum seperti mie mengalami kenaikan harga. Apalagi ketika perang seperti saat ini.
Kedua, ketidakpastian di Eropa menimbulkan risiko perdagangan lainnya membayangi. Kerusuhan di perhubungan Eropa dan Asia dapat menimbulkan risiko bagi rantai pasokan yang telah digoyahkan oleh pandemi. Ditambah lagi, kemungkinan ada efek tidak langsung lainnya pada ekonomi, termasuk mengguncang kepercayaan konsumen.
Ketiga, melonjaknya harga komoditi, harga minyak, emas, dan komoditas naik tajam karena investor mengalihkan dana ke aset safe haven. Pada Kamis (24/2), Emas diperdagangkan pada USD1.942,10 per ounce, tertinggi sejak akhir 2020.
Harga minyak dunia berdasarkan West Texas Intermediate 5,61persen lebih tinggi pada USD97,27 per barel dan Brent melonjak 5,95 persen menjadi USD102,60 per barel, melewati level USD100 untuk pertama kalinya sejak 2014.
Harga batu bara acuan untuk kontrak Maret di Ice Newcastle (Australia) meroket 14,27 persen ke US$ 271/ton. Sementara rekor tertinggi harga batu bara US$ 280/ton yang dicapai pada 5 Oktober 2021 lalu.
Harga CPO mampu menembus harga MYR 6.294/ton padahal pada perdagangan pagi hari, harga CPO sudah menyentuh all time high sejak 1980. Namun, ketika Rusia menyerang dua kota terbesar Ukraina yaitu Kyiv dan Kharkiv, harga CPO melesat tajam hingga 5,22 persen.
Dampak Terhadap Indonesia
Terhadap APBN perang ini memberi efek. Hanya saja diperkirakan tekanannya tidak akan begitu besar. Karena Indonesia masih ekspor minyak dan gas, sehingga ketika ada kenaikan harga maka bisa berdampak positif terhadap penerimaan.
Tingginya harga komoditas, seperti batu bara hingga crude palm oil (CPO), juga akan memberikan dampak positif terhadap penerimaan negara. Khususnya pada pos bea keluar dan penerimaan negara bukan pajak (PNBP) dari ekspor.
Namun di sisi yang lain, kenaikan harga minyak akan memberikan beban terhadap subsidi energi. Pada tahun ini anggaran subsidi energi dalam APBN 2022 sebesar Rp 134,02 triliun. Terdiri dari subsidi jenis BBM tertentu dan LPG Tabung 3 kg sebesar Rp 77,54 triliun dan subsidi listrik sebesar Rp 56,47 triliun.
Tekanan akan semakin berat apabila tidak ada penyesuaian harga BBM dan listrik, khususnya bagi Pertamina dan PLN. Meskipun di sisi lain, apabila pemerintah menaikan harga, efeknya akan terasa pada inflasi dan memukul daya beli masyarakat.
Lonjakan harga minyak dunia dan komoditas seperti batu bara dan CPO akan memberikan pengaruh terhadap perdagangan. Tingginya komoditi barang tersebut akan membuat neraca perdagangan tetap surplus dengan perkiraan US$ 18 miliar atau lebih rendah dari 2021.
Dampak cukup berat adalah pada inflasi, situasi saat ini akan mendorong kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM) dan listrik, sehingga inflasi akan lebih tinggi menjadi 2,5 persen year on year (yoy). Lemahnya permintaan akan menjadi penahan inflasi. Level tersebut juga masih dalam rentang yang diasumsikan Bank Indonesia (BI).
Jadi, apa yang bisa kita lakukan sekarang? Hanya berdoa untuk yang terbaik namun tetap bersiap untuk yang terburuk. Berdoa perang segera berhenti, karena jika situasinya berlanjut ekonomi dunia akan lepas dari segala asumsi yang bisa diprediksi.
Discussion about this post